Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Selasa, 19 Januari 2010 Umum

Perdagangan Karbon; Sudah Siapkah Kita?

[html] Perdagangan Karbon; Sudah Siapkah Kita?
oleh: Bernard T.F Pangaribuan*)



PENDAHULUAN

Belum lama berselang sekitar 161 wakil negara-negara di dunia berkumpul dalam konferensi tingkat dunia di Bali yang secara khusus membicarakan kondisi dan masa depan bumi ini. Salah satu agenda yang hangat dibicarakan adalah perdagangan karbon (carbon trade) yang diyakini merupakan salah satu resep yang konon ampuh mengobati atau paling tidak mampu menahan laju emisi (hasil buangan) karbondioksida yang dituduh sebagai biang pemanasan global yang kita hadapi saat ini.

A. Apa itu perdagangan karbon?

Dalam konteks perdagangan tentu ada penjual, pembeli dan barang dagangan itu sendiri, yang diperankan secara berturut turut adalah negara-negara pemilik hutan (penyerap karbon, carbon sink), negara-negara industri (penghasil karbon, emitor), dan karbon (dalam senyawa CO2). Jual-beli karbon ini akan dilakukan melalui suatu bentuk skim yang disepakati bersama secara standar internasional dan sebagai konsekwensinya negara penjual wajib mempertahankan dan menjaga kondisi hutannya. Mengapa karbon diperdagangkan?
Pada awalnya timbul rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan oleh negara-negara yang masih memiliki hutan dan umumnya miskin dan berkembang yang merasa selalu ditekan untuk tetap menjaga hutannya demi kepentingan internasional tanpa memperoleh kompensasi apapun. Di satu sisi negara-negara ini dipaksa untuk mempertahankan kondisi hutannya agar tetap berfungsi menyerap karbon di udara
sekaligus menjaga karbon yang ada di dalam tanah agar tidak lepas ke udara, tapi di sisi lain negara-negara industri kaya terus saja melepas CO2 melalui kegiatan industri mereka. Konon sekitar 85% emisi karbon yang ada di atmosfir berasal dari negara-negara ini. Sudah sepantasnya mereka inilah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan pemanasan global. Nah, agar kita tidak hanya bertugas menjaga hutan saja maka disusunlah mekanisme perdagangan karbon yang dimaksudkan sebagai kompensasi tugas jaga tersebut. Tapi nanti dulu, dana kompensasi yang diberikan (sangat menggiurkan) tentunya menuntut konsekwensi-konsekwensi yang harus dicermati baik-baik. Tentu saja pihak-pihak yang berkepentingan dapat memaknainya secara lain sehingga timbul pro kontra dalam memandang mekanisme bentuk perdagangan baru ini. Benar sekali, perdagangan ini akan sangat menguntungkan negara-negara yang masih memiliki hutan terutama hutan tropis seperti Indonesia. Hutan yang memenuhi syarat akan diberi kompensasi sebesar USD 5 – 20/ ha/tahun. Bisa kita bayangkan berapa dana yang dapat kita serap bila kita menjual jasa hutan tropis yang masih kita miliki. Namun terlepas dari nilai nominal yang ditawarkan, masih ada pihak-pihak yang curiga dan tidak setuju terhadap mekanisme ini. Mekanisme perdagangan karbon dinilai hanya melanggengkan jalan bagi kecurangan negara-negara industri maju. Ada yang menuduh bahwa negara-negara industri maju rela mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon ini di negara berkembang dengan imbalan mereka akan mendapatkan semacam surat ijin untuk tetap mencemari udara tanpa harus menurunkan emisi karbonnya.

Di dalam negeri, kesiapan kelembagaan dalam mengkoordinasikan pengalokasian dana, kesiapan regulasi dalam sistem pembagian hasil kompensasi, status kawasan yang tumpang tindih dan moralitas seluruh pihak terkait berpotensi malah dapat menambah masalah. Mekanisme ini juga disinyalir akan merugikan masyarakat adat yang akan sangat membatasi akses mereka dalam mengelola hutannya sehingga konflik dengan pemerintah akan sangat mudah terjadi. Di samping itu, mekanisme ini juga disebut sebagai bentuk pengekangan negara-negara maju dimana negara-negara berkembang tidak bisa membangun industri-industri yang mengeluarkan emisi karena karbon mereka telah dibeli oleh negara maju dan itu membuat ketergantungan industri terhadap negara maju.

Terlepas dari silang pendapat ini, perdagangan karbon setidaknya secara finansial akan menguntungkan kita. Ada tidaknya perdagangan karbon toh kita wajib menjaga dan melestarikan hutan yang ada. Namun perlu diwaspadai apakah benar kita masih dapat menjual karbon kita? Seberapa besar emisi yang kita hasilkan saat ini yang berasal dari industri, transportasi, kebakaran hutan dan lahan, degradasi lahan gambut, dll. Fakta menunjukkan bahwa hanya dalam jangka waktu 50 tahun lalu Indonesia yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa karena kekayaan alamnya harus rela melepas gelar tersebut dicopot akibat laju deforestasi dan degradasi yang sangat cepat, sekitar 3 juta ha/tahun atau setara dengan 300 kali luas lapangan bola/jam. Kondisi ini memang masih tetap memantapkan posisi Indonesia sebagai pemegang pole position – namun dari titik pandang ekstrim yang berbeda – sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia! (Guinness Book of Records). Jangan-jangan Indonesia malah termasuk salah satu penghasil karbon bukannya penyerap dan penjerap karbon?

B. Betulkah Perdagangan Karbon Merupakan Solusi Pelambatan Pemanasan Global?

Pada dasarnya kehidupan di bumi ini eksis karena adanya efek gas rumah kaca atau dengan kata lain kehidupan di bumi tidak akan pernah ada tanpa jasa efek gas rumah kaca. Sejatinya, efek rumah kaca merupakan proses alami yang terjadi sehingga memungkinkan kelangsungan hidup bagi semua makhluk di bumi. Tanpa adanya gas rumah kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan berkisar -33 derajat Celcius.
Secara ringkas efek rumah kaca dapat kita analogikan dengan sederhana. Sudah pasti diantara kita sudah pernah merasakan bagaimana ketika pertama kali memasuki sebuah mobil yang diparkir di tempat yang panas. Suhu di dalam mobil akan terasa lebih panas daripada suhu di luar, karena energi panas yang masuk ke dalam mobil terperangkap di dalam dan tidak bisa keluar. Pada kondisi yang normal, efek gas rumah kaca adalah baik karena dengan demikian bumi akan menjadi lebih hangat dan dapat menjadi tempat hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa efek gas rumah kaca, bagian bumi yang tidak terkena sinar matahari akan menjadi sangat dingin seperti di dalam freezer kulkas kita (-200C). Sejarah terbentuknya bumi hingga bisa ditempati oleh manusia seperti saat ini sebenarnya tak lepas dari jasa efek gas rumah kaca.

Kalau begitu, mengapa efek gas rumah kaca begitu sangat ditakuti? Mengapa efek gas rumah kaca menjadi masalah global? Mengapa efek gas rumah kaca sampai menyentuh ranah politik dunia?
(sumber: garamut.files.wordpress.com/2009/02/tree-hand.jpg)
Masalah kemudian yang timbul adalah ketika terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bumi. Mengapa konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Peningkatan konsentrasi gas ini diduga kuat karena sejak awal revolusi industri, konsentrasi CO2 pada atmosfer bertambah mendekati 30%, konsentrasi metan melebihi dua kali lipat, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%. Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi. Para ilmuwan umumnya percaya bahwa pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbondioksida dan gas rumah kaca. Sumber-sumber emisi karbondioksida secara global dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara): 36% dari industri energi (pembangkit listrik/kilang minyak, dll), 27% dari sektor transportasi, 21% dari sektor industri, 15% dari sektor rumah tangga & jasa, 1% dari sektor lain -lain. Sumber utama penghasil emisi karbondioksida secara global ada 2 macam. Pertama, pembangkit listrik bertenaga batubara. Pembangkit listrik ini membuang energi 2 kali lipat dari energi yang dihasilkan. Misalnya, energi yang digunakan 100 unit, sementara energi yang dihasilkan hanya 35 unit. Maka, sisa energi yang terbuang sebesar 65 unit! Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5,6 juta ton karbondioksida per tahun! Kedua, pembakaran kendaraan bermotor dan bermobil. Kendaraan yang mengkonsumsi bahan bakar sebanyak 10 liter per 100 km dan menempuh jarak 20 ribu km, maka setiap tahunnya akan mengemisikan 4 ton karbondioksida ke udara! Bayangkan berapa ton CO2 yang disumbangkan kendaraan yang masuk ke atmosfer setiap tahun?

Akhirnya, skim perdagangan ini masih terus menimbulkan silang pendapat dan perdebatan. Memang, secara ekologis dapat dijabarkan secara gamblang bahwa melalui skim perdagangan ini setidaknya memang relatif mampu menahan laju deforestasi hutan dan degradasi lingkungan.

Namun disisi lain, dan tak kalah pentingnya, dari sisi politis dan harga diri, skim ini menggugah rasa keadilan negara-negara produsen hutan tropis khususnya karena lagi-lagi merasa diperdayai oleh negara-negara industri dengan hanya berperan sebagai penjaga hutan saja!


*) Widyaiswara Balai Diklat Kehutanan P. Siantar [/html]